Unggah ungguh Basa Jawa lengkap jenis dan penerapannya

Avatar of Supriyadi Pro

- Author

Selasa, 28 Mei 2024 - 11:20 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kawruhbasa.com – Unggah ungguh basa Jawa adalah bahasa yang digunakan masyarakat Jawa dengan membedakan siapa yang mereka ajak bicara. Misalnya berbicara dengan teman sebaya menggunakan basa ngoko, berbicara dengan usianya di atasnya sedikit menggunakan basa madya, sedangkan jika berbicara dengan orang yang jauh lebih tua menggunakan bahasa krama.

Jadi, dalam pergaulan masyarakat Jawa telah membedakan penerapan bahasa dengan memandang usia orang yang diajaknya bicara. Namun, penerapan tersebut tidak selalu begitu, meskipun usianya sepantaran atau bahkan orang yang lebih tua pun ketika baru pertama kali bertemu sering menggunakan bahasa krama.

Hal ini mencerminkan bahwa orang Jawa selalu menjunjung tinggi etika dan norma untuk selalu menghormati orang lain meskipun baru pertama kali bertemu. Maka tak heran jika di manapun orang Jawa berada, mereka selalu disukai karena selalu menjaga tutur sapanya.

Menurut penerapannya, bahasa Jawa dibagi menjadi 3, yaitu:

  1. basa ngoko (bawah)
  2. basa madya (tengah)
  3. basa krama (atas)

Agar lebih jelas, mari kita ulas satu-persatu 3 jenis bahasa di atas.

Unggah ungguh Basa Jawa
Unggah ungguh Basa Jawa lengkap jenis dan penerapannya 2

Basa Jawa Ngoko dan jenisnya

Basa ngoko yaiku basane wong kang ora pati ngurmati wong kang diajak guneman. Dene panganggone basa ngoko yaiku: (Basa ngoko yaitu bahasanya orang yang tidak begitu menghormati orang yang diajak bicara. Adapun penggunaannya adalah sebagai berikut):

  1. menyang sapada-pada kang wis kulina banget. (Kepada orang seumuran yang sudah akrab)
  2. menyang wong kang wis keprenah nom, kayata: marang anak, putu, pramu wisma, bojo, wong cilik, sedulur nom. (Kepada orang yang lebih muda, seperti: anak, cucu, pembantu, suami/istri, anak kecil, saudara muda)
  3. yen ngunandika, yaiku guneman dhewe utawa celathu sajroning ati. (Kalau bergumam, yaitu berbicara sendiri atau dalam hati)

Basa ngoko dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

1. Basa ngoko lugu

Basa ngoko tidak ada kata atau kalimat yang menyelipkan basa krama inggil terhadap orang yang diajak bicara. Adapun fungsinya untuk anak kecil dengan anak yang seumuran/sepantaran, dan bicaranya orang tua dengan anak muda.

Contoh penerapan bahasa ngoko terhadap teman sebaya atau sudah akrab:

  1. “Kowe arep menyang ngendi, Bud?” (“Kamu mau ke mana, Bud?”)
  2. “Aku mengko dak dolan menyang nggonmu, ya!” (“Aku nanti main ke tempatmu, ya!”)

Contoh penerapan bahasa ngoko orang tua terhadap anak:

  1. “Ti, yen arep turu sikatan dhisik!” (“Ti, kalau mau tidur sikat gigi dulu!”)
  2. “Nik, jupuna buku iku!” (“Nik, ambilkan buku itu”!)

Contoh penerapan bahasa ngoko berbicara sendiri:

  1. “Kapan ya aku duwe sepedha mini?” (“Kapan ya aku punya sepeda mini?”)
  2. “E, mbok Giyarti dolan rene ya.” (“E… semoga Giyarti main ke sini.”)

2. Ngoko Andhap (Ngoko halus)

Basa ngoko andhap atau ngoko halus adalah bahasa ngoko yang lebih halus atau lebih menghormati dalam penerapannya. Yaitu kata atau kalimat yang menyisipkan krama inggil terhadap orang yang diajak bicara.

Fungsinya digunakan untuk: ibu kepada bapak, adik kepada kakak, atau bisa juga kakak kepada adik yang dihormati karena pangkat atau derajat sosialnya lebih tinggi, dan anak kepada orang tua.

Contoh penerapan basa ngoko andhap ibu kepada bapak:

  1. “Pak, yen arep dhahar wis dak tata ana ing meja.”
  2. “Yen sida tindak nitih bis wa, Pak.”

Contoh penerapan basa ngoko andhap adik kepada kakak, atau kakak kepada adik yang derajat sosialnya lebih tinggi:

  1. “Mas, yen kersa mengko dak ampiri mriksani wayang kulit.”
  2. “Dhik, iki lho dak caosi oleh-oleh saka Sala.”

Contoh penerapan basa ngoko andhap anak kepada orang tuanya:

  1. “Ibu apa gerah, kok aras-arasen?”
  2. “Bu, yen arep tindak dakterake.”

Baca juga: Pengertian Kebudayaan menurut orang Jawa dan secara umum

Basa Jawa madya: jenis, dan penerapannya

Basa madya adalah bahasa Jawa yang dalam penerapannya dicampur dengan basa krama dan/atau basa ngoko. Bahasa Jawa jenis ini terasa kurang menghargai jika dibandingkan dengan bahasa krama. Kata atau kalimatnya lebih pendek dan lebih terkesan apa adanya.

Dalam bahasa ini digunakan awalan di- dan akhiran -ake, kata kowe menjadi dika atau samang.

Umumnya, yang sering menggunakan basa madya itu seperti berikut:

  1. Orang yang tidak atau kurang mengerti sastra terhadap sesamanya.
  2. Orang yang paham sastra terhadap orang yang kurang mengerti sastra.
  3. Terhadap sahabat yang sudah akrab tetapi masih perlu saling menghormati.

Menurut penerapannya bisa dibedakan menjadi 3, yaitu:

  1. madya ngoko
  2. madyantara
  3. madya krama

Contoh:

  • Pak Bayan : “Pak, oleh dika adol bakso niku arak empun suwe banget.”
  • Bakul Bakso : “Empun, Mas. Ayake enggih empun limalas taun.”

Agar lebih jelas, mari kita urai satu-persatu, teruslah membaaca agar lebih memahami.

1. Madya ngoko

Basa madya ngoko adalah bahasa yang biasanya digunakan dalam percakapan antara pedagang dengan sesama pedagang. Sebagai contoh “aku” menjadi “kula”, “kowe” menjadi “dika”.

Contoh basa Madya Ngoko:

  • Ngoko lugu : “Jane kowe ki kok sajak ora jenjem ki enek apa ta?”
  • Madya ngoko : “Jane dika kok sajak ora jenjem ki wonten napa ta?”

2. Madyantoro

Basa madyantara adalah bahasa yang biasanya digunakan antara orang yang sepadan strata sosialnya, pemimpin dengan saudara yang pangkatnya lebih rendah. Pengubahan kata “kowe” menjadi “mang”, “samang”, atau “sampeyan”.

Contoh penggunaan basa Madyantara:

  • Ngoko Lugu : “Jane kowe rak yo duwe klambi sing luwih apik ta, Jo?”
  • Madyantara : “Jane sampeyan ki rak ya duwe klami sing luwih apik ta, Jo?”

3. Madya krama

Basa madya krama adalah bahasa yang biasanya digunakan oleh istri pejabat dengan suaminya. Terdiri dari bahasa madya, krama dan krama inggil. Tetapi tidak mengubah ater-ater dan panambang menjadi basa krama.

Contoh penggunaan basa Madya Krama:

  • Ngoko lugu : “Pakne, sido arep menyang kantor apa ora?”
  • Madya krama : “Pakne, sios badhe tindak kantor menapa mboten?”

Baca juga Aksara Jawa: Penjelasan dan maknanya

Basa Jawa Krama

Basa Krama adalah bahasa yang taklim, artinya menghormati terhadap orang yang diajak bicara. Adapun bahasa tersebut dibedakan menjadi 4 macam, yaitu:

  1. mudha krama
  2. wredha krama
  3. kramantara
  4. krama inggil
  5. krama ndesa

Adapun penjelasan lengkapnya sebagai berikut:

1. Mudha Krama

Mudha krama adalah bahasa yang biasanya digunakan anak muda kepada orang tua atau yang sepadannya. Adapun jenisnya yaitu tembung krama menggunakan ater-ater (awalan) dan panambang (akhiran) krama.

Umumnya menggunakan basa mudha krama, yaitu anak kepada orang tuanya, murid kepada gurunya, sesama teman yang belum begitu akrab.

Contoh:

  • Ari : “Lho, Adi badhe badhe tindak dhateng pundi?” (Tanya)
  • Adi : “Badhe dhateng Klaten, dipun timbali eyang.” (Jawab)

2. Wredha Krama

Wredha Krama adalah bahasa krama yang penerapannya menggunakan awalan di- dan akhiran -e, -ake dan tidak dicampuri krama inggil terhadap yang diajak bicara.

Umumnya, yang menggunakan basa Wredha Krama adalah: pemimpin kepada bawahannya, orang yang seimbang jabatannya tetapi jika yang diajak bicara secara umur lebih tua.

Contoh:

  • “Pinten regine? Angsale ngawis dikinten-kinten boten langkung saking Rp 10.000.”

3. Kramantara

Basa kramantara yaitu seperti halnya wredha krama, tetapi bedanya hanya menggunakan ater-ater (awalan) dan panambang (akhiran) bahasa krama. Kata-atau kalimatnya tidak menggunakan krama inggil terhadap orang yang diajak bicara.

Contoh:

  • Mangga mbok dipuncobi rumiyin.
  • Ulesipun kapal punika punapa?

Baca juga Paramasastra Basa Jawa Baku jangkep aksara Jawi lan Sandhangane

4. Krama inggil

Basa krama inggil adalah bahasa yang digunakan kepada orang yang sangat dihargai atau dihormati. Jenisnya seperti basa mudha krama, bedanya terletak pada akhiran -mu berubah menjadi panjenengan atau panjenengan dalem. Kata aku dirubah menjadi abdi dalem, dalem, kawula, maupun kula.

Kata-kata yang menjadi basa krama inggil seperti anggota badan tingkah laku, pakaian atau barang milik, keadaan badan, dan lainnya.

Contoh:

  • tangan (ngoko) menjadi asta (krama inggil)
  • mangan (ngoko) menjadi dhahar (krama inggil)
  • njoged (ngoko) menjadi mbeksa (krama inggil)

Catatan: Jika ada kata yang harus diganti krama inggil tetapi tidak ada krama inggilnya maka yang digunakan krama lugu.

Contoh:

  • Ndara pangeran lagi rembagan.

Catatan: Jika mengatakan pakaian atau barang milik yang tidak ada krama maupun krama inggilnya, maka disarankan menggunakan kata agem atau kagungan.

Contoh:

  • agem dalem sepatu : sepatumu
  • kagungan dalem sepatu :sepatumu
  • kagungan penjenengan sepatu : sepatumu

Penerapan krama inggil yang salah dan yang benar

Catatan: Dalam aturan bahasa Jawa, krama inggil tidak boleh digunakan untuk diri orang yang mengatakan, karena filosofi orang Jawa tidak suka sombong dan menjunjung dirinya sendiri, tetapi lebih menghormati orang lain. Singkatnya lebih baik menonjolkan orang lain dari pada dirinya sendiri.

Contoh:

  • Kula badhe siram rumiyin. (salah)
  • Kula badhe adus rumiyin (bener)

Di bawah ini adalah contoh penggunaan basa krama inggil yang salah dan yang benar. Biasanya ini sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari baik tidak sengaja atau belum paham. Perhatikan perbedaannya dengan melihat kata yang kami tandai dengan huruf miring.

No.SalahBenar
1.Padharan kula sakit mergi mentas dhahar pelem mentah.Weteng kula sakit mergi mentas nedha pelem mentah.
2.Kula badhe ngagem rasukan.Kula badhe ngangge rasukan.
3.Putra kula kalih, putri satunggal, kakung satunggal.Anak kula kalih, estri satunggal, jaler satunggal.
4.Kula badhe miyos rumiyin.Kula badhe medal rumiyin.
5.Buku kagunganipun Bapak ingkang kula paringaken ing meja dipun pundhut Adhik.Buku kagunganipun Bapak ingkang kula sukakaken ing meja dipun pendhet Adhik.
6.Kula badhe tindak dhateng Jakarta, kondur kula benjing Selasa.Kula badhe dhateng Jakarta, wangsul kula benjing Selasa.
7.Dalem kula wonten ing Kampung Tegal Kepatihan, Kalurahan Bareng.Griya kula wonten ing Kampung Tegal Kepatihan, Kalurahan Bareng.
8.Kula mundhut buku dhateng toko “Sumber Kawruh”.Kula tumbas buku dhateng toko “Sumber Kawruh”.
9.Menawi badhe mapan sare, kula mesthi ngunjuk toya rumiyin.Menawi badhe mapan tilem, kula mesthi ngombe toya rumiyin.
10.Ibu mundhut duren badhe dipunparingaken Bu Camat.Ibu mundhut duren badhe dipuncaosaken Bu Camat.
11.Bapak ndherek kula mriksani wayang kulit.Bapak tumut kula mriksani wayang kulit.
12.Bapak sukuran, tangga tepalih sami dipuntimbali.Bapak sukuran, tangga tepalih sami dipunaturi.
13.Ibu mundhut apel badhe dipuncaosaken Mbak yu.Ibu mundhut apel badhe dipunparingaken Mbak yu.
14.Bapak ngendika “Omah sakebone dak paringake Bima.Bapak ngendika “Omah sakebone dak wenehake Bima.

Untuk mengetahui daftar kosakata krama inggil silahkan kunjungi di sini.

5. Krama Desa

Seperti sebutannya, krama desa/ndesa berarti bahasa yang digunakan masyarakat desa atau pedesaan. Menurut Mulyanto (Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta) Krama desa adalah istilah yang diperkenalkan sebagai salah satu ragam bahasa dalam bahasa Jawa.

Sesuai dengan namanya, krama desa merupakan bahasa krama (bercampur dengan bahasa madya) dan dipakai oleh orang-orang desa. Krama desa sebenarnya identik dengan ragam krama. Namun, ragam ini dipakai oleh orang-orang yang kurang mengerti dengan baik tentang ragam krama. Bagi pemakainya, ragam ini dianggap sebagai ragam kromo seperti kromokromo yang lain.

Suharno (1982) menyebut hal itu sebagai village type courtesy ‘bentuk hormat (orang) desa’, termasuk di dalamnya adalah pelanggaran penggunaan kata pirsa pada konstruksi kula pirsa yang seharusnya kula sumerep ‘saya mengetahui’. Lebih lanjut ia juga menyebut hal itu sebagai hypercorrection ‘perbaikan yang berlebihan’, misalnya pada kata wedos ‘takut’ yang seharusnya ajrih ‘takut’ yang berasal dari ngoko wedi ‘takut’ (1982: 127).

Selama ini ragam krama desa dalam bahasa Jawa dianggap sebagai bentuk olok-olok atau sebagai bahasa orang yang tidak mengerti bahasa ragam halus. Penelitian ini bertujuan untuk menaturalisasi anggapan itu dan menjelaskan secara deskriptif krama desa sebagai bahasa yang hidup. Hasilnya, pembentukan kosakata krama desa merupakan sebuah paradigma yang memiliki sistem.

Walaupun dianggap sebagai bentukan yang salah dan dengan jumlah kosakata yang terbatas, krama desa memiliki sistem yang bersifat teratur sebagaimana pembentukan bentuk kromo atau krama inggil dari ragam ngoko. Keteraturan sistem itu berupa analogi yang kuat adanya proses pembentukan kosakata ragam kromo menjadi kromo yang lain, yang searti.

Untuk mempelajari lebih jauh dan lengkap mengenai bahasa Krama Desa, silahkan download file PDFnya. Dalam file tersebut dibahas secara detail dan lengkap.

Basa Kedhatonan (Bagongan)

Jenisa bahasa ini mungkin sangat jarang didengar untuk masa sekarang ini. Basa kedhatonan adalah bahasa yang digunakan oleh para sentana dan abdi ratu (keraton) jika mereka bercakap-cakap di dalam kedhaton.

Jenis basa kedhatonan yaitu basa krama yang berisi bahasa kedhaton tanpa krama inggil terhadap orang yang diajak bicara.

Di bawah ini ada contoh bahasa kedhaton dari keraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai pengetahuan saja:

  • Kala wingi ing griya jengandika kados wonten tamu.
  • Boya, namung tuwi besaos margi kangen.

Basa Kasar

Basa kasar adalah bahasa Jawa yang biasanya keluar dari mulut orang yang sedang marah atau bertengkar. Jenisnya bahasa ngoko yang dicampur dengan bahasa kasar yang dilontarkan kepada orang yang dimarahi atau lawan bertengkar.

Kesimpulan

Dalam bermasyarakat, orang Jawa selalu jeli melihat dengan siapa mereka bicara. Hal ini tercermin dari jenis dan penggunaan masing-masing strata atau tingkatan bahasa yang mereka gunakan. Misalnya, dengan teman sebaya menggunakan bahasa ngoko, dengan orang yang usianya sedikit lebih tua menggunakan bahasa madya, dan dengan orang yang jauh lebih tua menggunakan krama inggil.

Mungkin secara sekilas terlihat rumit, tetapi jika dianalisa lebih mendalam bahasa Jawa sebenarnya dalam penggunaannya sangat spesifik, karena orang Jawa lebih suka mangantisipasi dan meminimalisir kesalahan dalam berbicara. Dan sebenarnya tidak hanya dalam berbahasa, tetapi dalam bertindak pun orang Jawa sangatlah berhati-hati. Hal ini terlihat dari cara mereka menentukan suatu peristiwa.

Salah satu contoh: orang Jawa akan mencari hari baik dalam menentukan hari pernikahan anak-anak mereka.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi anda yang suka belajar bahasa Jawa, mohon maaf jika masih banyak kesalahan. Selalu kunjungi kawruhbasa.com atau ikuti kami di Google News untuk mendapatkan update terbaru.

Berita Terkait

Arti dan Penggunaan Kata “Goblog” dalam Bahasa Jawa
Bajingan dalam Bahasa Jawa: Makna, Sejarah, dan Penggunaan
Jancuk atau Jancok Bahasa Jawa Kasar: Arti, Asal Usul, dan Penggunaan
Makna Kata “Asu” dalam Bahasa Jawa Kasar dan Konteks Penggunaannya
Bahasa Kasar Jawa Apa Saja?
100 Kosakata Bahasa Jawa Sehari-hari untuk Pemula
Nyenuk Artinya Bahasa Jawa: Makna dan Penggunaannya
Sopan Santun Berbahasa Jawa: Panduan Lengkap untuk Memahami Tata Krama Berbahasa

Berita Terkait

Kamis, 14 November 2024 - 20:06 WIB

Arti dan Penggunaan Kata “Goblog” dalam Bahasa Jawa

Kamis, 14 November 2024 - 19:58 WIB

Bajingan dalam Bahasa Jawa: Makna, Sejarah, dan Penggunaan

Selasa, 12 November 2024 - 14:37 WIB

Jancuk atau Jancok Bahasa Jawa Kasar: Arti, Asal Usul, dan Penggunaan

Senin, 11 November 2024 - 18:40 WIB

Bahasa Kasar Jawa Apa Saja?

Senin, 11 November 2024 - 17:24 WIB

100 Kosakata Bahasa Jawa Sehari-hari untuk Pemula

Berita Terbaru

Sejarah Jawa

Prasasti Canggal: Jejak Sejarah Awal Peradaban di Tanah Jawa

Minggu, 17 Nov 2024 - 18:17 WIB

Bahasa Jawa

Arti dan Penggunaan Kata “Goblog” dalam Bahasa Jawa

Kamis, 14 Nov 2024 - 20:06 WIB

Bahasa Jawa

Bajingan dalam Bahasa Jawa: Makna, Sejarah, dan Penggunaan

Kamis, 14 Nov 2024 - 19:58 WIB