kawruhbasa.com – Bahasa Jawa tidak hanya kaya akan kosakata yang mencerminkan benda atau tindakan, tetapi juga memiliki istilah khusus untuk angka-angka. Salah satu angka yang menarik untuk dikaji adalah “selawe.” Dalam bahasa Jawa, arti selawe adalah dua puluh lima. Namun, angka ini memiliki berbagai makna dan konotasi dalam kehidupan masyarakat Jawa, terutama dalam ranah sosial dan budaya.
Pengertian Selawe Secara Leksikal
Secara literal, selawe merupakan bentuk bahasa Jawa untuk angka 25. Kata ini terdiri dari penggabungan “se” yang berarti satu, dan “lawe” yang merupakan bagian dari kata untuk angka dua puluh lima. Selawe biasa digunakan dalam berbagai konteks numerik, seperti dalam penghitungan, penyebutan umur, atau kuantitas barang.
Contoh penggunaan:
- “Umurku saiki selawe tahun.” (Umur saya sekarang dua puluh lima tahun.)
- “Buah apel kuwi regane selawe ewu.” (Buah apel itu harganya dua puluh lima ribu.)
Selawe dalam Konteks Sosial dan Budaya
Angka dalam budaya Jawa tidak hanya digunakan untuk menyatakan jumlah, tetapi juga mengandung makna simbolik atau menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat. Selawe, sebagai angka 25, sering kali muncul dalam konteks sosial tertentu.
1. Usia 25 Tahun sebagai Tahapan Hidup
Usia dua puluh lima sering dianggap sebagai fase penting dalam kehidupan seseorang. Dalam masyarakat Jawa, usia ini sering dikaitkan dengan kedewasaan dan kesiapan untuk memikul tanggung jawab, termasuk dalam hal pekerjaan dan pernikahan.
- “Yen wis selawe, kudu wis duwe panguripan sing tetep.” (Kalau sudah dua puluh lima, harus sudah memiliki kehidupan yang stabil.)
Pandangan ini menjadikan selawe sebagai simbol batas antara masa muda dan awal kedewasaan.
2. Tradisi dan Simbolisme Angka Selawe
Dalam beberapa kebudayaan lokal, angka 25 digunakan dalam berbagai kegiatan tradisional. Misalnya, dalam kenduri atau slametan, kadang jumlah makanan yang dibagikan atau jumlah bacaan tertentu mencapai angka ini karena dianggap genap dan cukup.
- “Sak kenduri ana selawe bungkus jajan pasar.” (Dalam kenduri ada dua puluh lima bungkus jajanan pasar.)
Hal ini menunjukkan bahwa selawe memiliki nilai simbolis sebagai angka yang dianggap cukup atau pantas dalam konteks sosial tertentu.
3. Selawe sebagai Ekspresi dalam Bahasa Sehari-hari
Bahasa Jawa dikenal dengan penggunaan angka dalam bentuk idiomatik. Selawe pun kadang digunakan dalam bentuk guyonan atau sindiran.
- “Ojo mung ditawani selawe, yen kerja abot kok regane mung ngono.” (Jangan hanya ditawari dua puluh lima, kalau kerjanya berat dan harganya segitu.)
Ungkapan ini menunjukkan bagaimana angka juga digunakan sebagai bentuk ekspresi atau kritik sosial.
Peribahasa dan Ungkapan Mengandung Selawe
Walaupun tidak sebanyak kata-kata lain, angka selawe tetap muncul dalam bentuk ungkapan khas dalam percakapan masyarakat Jawa. Beberapa di antaranya:
- “Selawe dina maneh rabi” (Dua puluh lima hari lagi menikah): menunjukkan waktu yang cukup dekat.
- “Regane mung selawe, ning gunane akeh” (Harganya cuma dua puluh lima, tapi manfaatnya banyak): menekankan nilai dibanding harga.
Ungkapan-ungkapan ini memperkaya cara masyarakat menyampaikan gagasan dan makna melalui angka.
Filosofi Jawa dalam Penggunaan Angka
Masyarakat Jawa tidak hanya rasional dalam melihat angka, tetapi juga memberikan nilai-nilai simbolis terhadap angka tertentu. Dalam hal ini, selawe bisa dilihat sebagai simbol dari keseimbangan. Dianggap cukup muda untuk belajar, namun cukup dewasa untuk bertanggung jawab.
Angka ini juga berada di tengah antara nol hingga lima puluh, menjadikannya sebagai representasi dari titik tengah menuju kematangan.
Selawe dalam Sastra dan Kesenian
Dalam seni sastra Jawa seperti tembang atau geguritan, angka selawe kadang digunakan sebagai bagian dari syair atau bait yang berirama. Misalnya:
- “Selawe lintang ing langit wengi, dadi saksi katresnanku marang sliramu.” (Dua puluh lima bintang di langit malam, menjadi saksi cintaku padamu.)
Penggunaan ini menunjukkan bahwa angka dalam bahasa Jawa tidak hanya informatif, tetapi juga artistik.
Pendidikan dan Pelestarian Kosakata Angka Jawa
Di tengah perkembangan bahasa dan budaya modern, penggunaan angka-angka dalam bahasa Jawa mulai berkurang. Banyak anak muda yang tidak mengenal istilah seperti selawe, telung puluh, utawa sanga likur. Oleh karena itu, pelestarian kosakata angka menjadi penting dalam pendidikan lokal.
Sekolah-sekolah atau komunitas budaya dapat mengintegrasikan pembelajaran angka Jawa ke dalam kurikulum atau kegiatan harian, seperti permainan tradisional, lagu anak-anak, dan pelajaran muatan lokal.
Arti selawe dalam bahasa Jawa adalah dua puluh lima. Namun lebih dari sekadar angka, selawe mencerminkan berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa, mulai dari tahapan kedewasaan, simbol sosial, hingga ekspresi dalam bahasa dan seni.
Memahami kosakata angka seperti selawe bukan hanya soal menghitung, tetapi juga mengenali nilai-nilai budaya dan filosofi hidup masyarakat Jawa.
Melalui pelestarian bahasa dan pemahaman budaya, kita bisa menjaga agar istilah-istilah seperti selawe tetap hidup dan relevan dalam kehidupan generasi sekarang dan yang akan datang.