Sejarah Bahasa Jawa yang tidak banyak diketahui kaum milenial

Avatar of Supriyadi Pro

- Author

Tuesday, 12 March 2024 - 22:22 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jika dilihat dari letak geografis, sejarah bahasa Jawa tentunya tidak lepas dari pulau Jawa. Secara mudah bahasa Jawa adalah bahasanya orang Jawa. Hal ini terkesan bahwa semua orang di pulau Jawa menggunakan bahasa Jawa, padahal kenyataannya tidak demikian.

Bahasa Jawa satu asal dengan bahasa orang-orang di sekitar Pulau Jawa, seperti Bahasa Sunda, Melayu, Madura, Dayak, Bugis, dan sebagainya.

Bahasa-bahasa yang dipakai di daratan atau pulau-pulau di antara Pulau Pas di sebelah timur, mulai dari Pulau Madagaskar di sebelah barat, di sebelah utara adalah Pulau Formosa, dan di sebelah selatan adalah Pulau Selandia Baru.

Dikutip dari buku Tata Bahasa Jawa terbitan Pura Pustaka 2012, bahasa-bahasa di wilayah tersebut termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.

Bahasa-bahasa tersebut satu asal dengan bahasa-bahasa di Hindia Belakang yang disebut Mon Khmer yang juga masih banyak persamaannya dengan Bahasa Polong, Bahasa Samkai, Munda, dan Santali. Semua bahasa tersebut termasuk dalam rumpun

bahasa Austro Asia. Pengelompokan Bahasa Austronesia. Bahasa Austronesia dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: Bahasa Oceania dan Bahasa Indonesia.

Bahasa Oceania dibagi menjadi tiga kelompok menurut jauh dekatnya letak pulau-pulau tersebut: Bahasa-bahasa Mikronesia, Bahasa-bahasa Melanesia dan Bahasa-bahasa Polinesia.

Adapun Bahasa Indonesia menurut arah mata angin dibedakan menjadi dua macam: Bahasa-bahasa di sebelah barat dan utara dan bahasa-bahasa di sebelah timur. Bahasa-bahasa di sebelah barat meliputi:

  • DiJawa: Bahasa Jawa, Bahasa Sunda dan Bahasa Madura
  • Di Pulau Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya: Bahasa Melayu, Bahasa Batak, Bahasa Aceh, Bahasa Lampung, Bahasa Nias, dan lain-lain.
  • Di Filipina: Bahasa Tagalok, Bisaya, Ibanak
  • Di Kalimantan: Bahasa Dayak
  • Di Sulawesi: Bahasa Makasar, Bahasa Bugis, Bahasa Tombulu, Bahasa Tonsea, Bahasa Tondano, dan lainlain.
  • Formosa: Bahasa Tavorlang, dan Singkiang
  • Di Ujung Indo Cina: Bahasa Cempa
  • Di Pulau Madagaskar: Bahasa Malagasi.

Bahasa-bahasa di sebelah timur adalah bahasa-bahasa yang terdapat di pulau-pulau kecil di sebelah timur Pulau Jawa hingga pulau-pulau di sekitar Kupang, dan sebagainya. Bahasa-bahasa tersebut adalah: Bahasa Bali, Bahasa Sasak, Bahasa Sumbawa, Bahasa Bima, Bahasa Sumba, Bahasa Rotti, Bahasa Timur, dan lain-lain (Antunsuhono, 1953).

Pemakai Bahasa Jawa

Bahasa-bahasa di Indonesia dan wilayah sekitarnya pada awalnya merupakan satu asal. Jika kemudian terpecah-pecah menjadi bermacam-macam bahasa, terutama disebabkan oleh karena Indonesia terdiri dari banyak pulau. Keadaan geografis tersebut menyebabkan berkurangnya pengaruh bahasa satu dengan bahasa yang lain.

Selain itu masing-masing pulau mempunyai pemerintahan daerah sendiri-sendiri. Keadaan yang demikian itu menyebabkan tumbuhnya beraneka macam bahasa hingga sekarang ini.

Sebab-sebab yang lain di antaranya ialah letak wilayah dalam satu daratan, rendahnya intensitas pertemuan (rendahnya mobilitas) juga menyebabkan bergeser dan berubahnya sebuah kata, pengertian dan maknanya, dan juga menyebabkan perbedaan cara menyusun kata dalam sebuah kalimat, sehingga muncul bermacam-macam cengkok bahasa (dialek).

Sehingga meskipun sama-sama Bahasa Jawa, tempat yang satu dengan yang lain cengkoknya tidak sama baik itu hal baiknya, kasarnya atau halusnya. Menurut beberapa pendapat sampai saat ini, cengkok Bahasa Jawa yang dianggap baik dan halus adalah: Cengkok Surakarta atau Cengkok Yogyakarta.

Pendapat yang demikian itu sudah semestinya, karena di situ tempat orang-orang yang mengolah keindahan bahasa sehingga pantaslah jika di kedua tempat itu bahasanya masih dianggap murni. Tentu saja semua bahasa harus benar cara menyusun kata, cengkok, dan susunan kalimatnya.

Demikian juga Bahasa Jawa harus benar susunannya. Buku Paramasastra, adalah buku yang memuat petunjuk dan bermacam-macam keterangan tentang bagaimana menyusun kata dalam satu kalimat agar supaya menjadi bahasa yang baik.

Bahasa yang indah, kecuali telah memenuhi kaidah-kaidah Paramasastra juga masih harus memperhatikan pilihan kata, dan unggah-ungguhing basa. Bahasa yang indah, adalah bahasa yang komunikatif dan dapat membawa perasaan orang lain seperti yang dirasakan oleh si penutur cerita.

Misalnya menceritakan orang yang sengsara hidupnya, yang mendengar bisa menaruh belas kasih, dan punya perasaan terharu.

Pada abad ke-2 hingga abad ke-14, orang-orang Jawa banyak memeluk agama Hindu. Orang-orang Hindu pada waktu itu selain menyebarkan agama juga memberi piwulang (ajaran) mengenai: bercocok tanam, membatik, membaca dan menulis, hingga akhirnya bahasa orang Hindu bercampur dengan bahasa setempat hingga melahirkan bahasa baru yang disebut Bahasa Jawa Kuno, terjadinya dari percampuran bahasa pribumi dengan Bahasa Sansekerta.

Oleh karena bahasa itu terus berkembang, lama-kelamaan Bahasa Jawa Kuno mengalami perubahan dan perkembangan sehingga melahirkan kata-kata Kawi, dan selanjutnya menjadi Bahasa Jawa yang ada sekarang ini.

Kata-kata Sansekerta itu banyak sekali dan tidak lagi dirasakan sebagai kata yang berasal dari bahasa asing. Kata-kata tersebut misalnya: raja, negara, nusa, iswara, budaya, sastra, basa, putra, para, swara, dan sebagainya (Antunsuhono, 1953).

Mulai abad ke-14, agama Hindu terdesak oleh agama Islam, dan selanjutnya orang-orang Jawa banyak yang memeluk agama baru tersebut. Seperti halnya agama Hindu, kata-kata Arab juga berpengaruh dan terserap dalam Bahasa Jawa terutama kata-kata yang ada kaitannya dengan agama.

Kata-kata tersebut misalnya: alam, makna, sujud, subuh, sifat, ajal, halal, salam, urmat, kiyamat, berkah, jaman dan sebagainya. Bahasa Portugis berpengaruh terhadap Bahasa Jawa mulai abad ke-16. Kata-kata yang terserap dalam Bahasa Jawa misalnya: meja, greja, tembako, gendera, bal, minggu, dan sebagainya.

Sebagaimana halnya Bahasa Portugis, pengaruh Bahasa Cina terhadap Bahasa Jawa melalui kontak dagang. Kata-kata yang telah terserap dalam Bahasa Jawa misalnya: bakmi, bakwan, bakso, bakpia, tahu, cawan, saoto, kuwih, mangkok, conto, dacin, teh, loteng, dan sebagainya.

Bahasa Melayu yang terserap dalam Bahasa Jawa tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan Bahasa Jawa yang terserap dalam Bahasa Melayu. Kata-kata yang termasuk dalam Bahasa Jawa misalnya: tempo, bung, kerja, pengaruh, gencatan senjata, naskah, istimewa, dan sebagainya.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan Inggris tentu saja banyak kata-kata yang terserap dalam Bahasa Jawa. Kata-kata tersebut misalnya: sekolah, buku, bangku, lampu, potelot, bensin, mesin, pen, grip, montor, karcis, onder, residen, gubernur, dokter, dan sebagainya.

Baca juga: 180 Kosakata Krama Inggil

Madu Basa, Madu Rasa, Madu Brata

Menurut Damardjati Supadjar, pujangga-pujangga dan sarjana-sarjana dahulu pada umumnya sedikit bicara. Tekanannya terletak pada pengolahan diri dan pembinaan kepribadian. Mereka yang ada di depan, para pemuka masyarakat, para pemimpin, haruslah asung tuladha, golongan menengah mangun karsa dan mayoritas rakyat tutwuri handayani.

Walaupun demikian bukannya pelajaran-pelajaran tadi lalu bercerai-berai dan berserakan tanpa sistem, melainkan segalanya berlangsung dengan hati-hati, memerlukan kehalusan perasaan, intensitas kemauan dan bertingkat-tingkat.

Madu basa yaitu meliputi sopan-santun berbahasa, tata cara, adat istiadat, intinya hal ikhwal memadu bahasa, demi kemanisan madunya. Madu rasa yang meliputi tepa sarira, tepa-tepi, unggah-ungguh, eguh, tangguh, tuju panuju, empan papan, kala-mangsa, dan duga prayoga.

Kemanisan rasa yang dialami pada tingkat kedua ini lebih mendalam dan jauh lebih lama berlangsungnya daripada tingkatan pertama, juga lebih mengasyikkan. Kesenangan orang yang sedang thalabul ilmi, ngudi kawruh, tidak pernah berkurang bahkan selalu bertambah. Madu brata meliputi sebagai berikut:

(1) Eling lan waspada atau awas eling.

(2) Nawung kridha: manusia dapat merasakan sendiri bahwa pemeliharaan hidupnya memerlukan pengetahuan tentang tabiat alam yang berbeda-beda. Manusialah yang harus adaptif dan responsif terhadap alam dalam batas-batas seperlunya.

(3) Pangastuti: yaitu daya batin yang diridhai Tuhan (jinurung ing ghaib), yang mampu mengalahkan sura dira jayaningrat.

Sistematika bertingkat tiga: madu-basa, madu-rasa dan madu brata tersebut sejalan dengan kehidupan maknawiyah awi sastra yang merupakan prasapa Sultan Agung.

Tata trapsilaning wuwus

Sandining sastra

Sandining sasmita

(Damardjati Supadjar, 1978: 74-79)

Bahasa Jawa termasuk salah satu unsur penyangga kebudayaan yang adiluhung, namun para pendukungnya tidak ekstrem agar Bahasa Jawa dijadikan bahasa nasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa-bahasa nasional, persatuan dan kenegaraan.

Keikhlasan, lahir-batin tidak lain karena didorong oleh keutamaan kepentingan yang lebih luas, dalam rangka keharmonisan hidup bersama pada tataran berbangsa dan bernegara.

Baca juga: Ungah ungguh Basa Jawa lengkap jenis dan penerapannya

Bahasa Para Pujangga

Ketajaman batin pujangga Ranggawarsita menyebabkan beliau juga mendapat gelar Sang Kawi Nawung Kridha. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ranggawarsita mengajukan syarat-syarat untuk menjadi dwija yang baik meliputi delapan kriteria seperti berikut.

  1. Paramasastra, yang berarti mahir dalam hal sastra.
  2. Paramakawi, yang berarti mahir dalam hal kata-kata kawi, yaitu kata-kata puitis yang lazim digunakan dalam gita.
  3. Mardi basa, yang berarti dapat menguasai bahasa dengan memilih kata-kata yang tepat dan pantas.
  4. Mardawalagu, yang berarti mahir dalam hal seni suara.
  5. Awicara, yang berarti pandai mengarang atau bercerita.
  6. Mandraguna, yang berarti menguasai banyak pengetahuan baik kasar maupun halus.
  7. Nawungkridha, yang berarti menguasai gerak lahir dan batin, termasuk kawaskithan,
  8. Sambegana, yang berarti mempunyai daya ingat yang kuat (Serat Wirid Hidayat Jati).

Dalam pengembangan sastra babad, Sultan Agung nampaknya memegang peranan yang sangat penting dan menentukan. Nampaknya ia sadar betul bahwa sastra babad dapat dimanfaatkan sebagai alat politik. Ini dapat diketahui dari perintahnya untuk menulis babad dalam tahun 1626 dan penulisannya kembali dalam tahun 1633, yaitu setelah kegagalannya menyerang Jakarta pada tahun 1628 dan 1629.

Mengingat perkembangan babad bersamaan dengan perkembangan ungah ungguhing basa yang Sultan Agung mempunyai minat begitu besar, masuk akal jika terdapat pendapat bahwa Sultan Agung memang berperan besar dalam pengembangan babad.

Karena itu tidak mustahil bahwa dalam pengembangan unggah-ungguhing basa, Sultan Agung memegang peranan yang menetukan. Unggah ugguhing basa itu dikembangkan dengan memanfaatkan para pujangga kraton (Moedjanto, 1994: 60).

Hingga pada akhir abad ke-16, pada zaman kerajaan Demak dan Pajang, unggah-ungguhing basa mungkin sudah mulai semi, meskipun hampir tidak ditemui hasil sastra dari jaman ini tidaklah sangat penting untuk memberikan penjelasan lebih lanjut.

Yang lebih penting ialah kepastian bahwa dalam abad ke-17 unggah-ungguhing basa sudah muncul dan kemudian mengalami perkembangan yang memberikan bentuk tetap berupa tataran ngoko krama dalam abad ke-17.

Unggah-unguhing basa merupakan alat untuk menciptakan jarak sosial, namun di sisi lain unggah-ungguhing basa juga merupakan produk dari kehidupan sosial. Hal ini dapat dijelaskan bahwa struktur masyarakat merupakan faktor pembentuk dari struktur bahasa.

Atau dapat juga dikatakan struktur bahasa merupakan pantulan dari struktur masyarakat. Struktur bahasa yang mengenal unggah ungguhing basa merupakan pantulan dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan sosial atau stratifikasi sosial. Makin rumit unggah-ungguhing basa, pasti makin rumit juga stratifikasi sosialnya.

Selanjutnya unggah-ungguhing basa memang sangat rumit, meskipun sebenarnya tataran yang pokok hanyalah dua, yaitu basa ngoko dan krama, lalu di antara kedua tataran pokok itu terdapat banyak variasi (Poerwadarminta, t: 7-10).

Pararel dengan tataran baku tersebut, sesungguhnya masyarakat Jawa terbagi dalam dua strata baku, yaitu sentana dalem dan kawula dalem, dengan abdi dalem sebagai penghubung atau perantara.

Tiap stratum sosial memiliki kaidah tersendiri, termasuk di dalamnya unggah ungguhing basa. Di kalangan sentana dan abdi dalem, penggunaan tataran krama oleh anak dalam berbicara dengan orang tua mereka adalah suatu keharusan, akan tetapi dalam kalangan orang kebanyakan adalah tidak.

Kebiasaan berbicara orang kebanyakan pada masa terakhir, yang melanjutkan tradisi, dapat menjadi pegangan. Keterangan yang lebih pasti dapat ditemukan dalam wayang, misalnya percakapan antara sesama panakawan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Keempat panakawan itu berbicara dalam bahasa ngoko satu dengan yang lainnya. Jadi si anak, Gareng dan adik-adinya, ngoko saja kalau bebicara dengan Semar ayahnya, tanpa dinilai kurang sopan.

Seperti juga percakapan keluarga Sagopa-Sagopi, kepala pedukuhan Widarakandang. Kyai Sagopa, Nyai Sagopi, anaknya Udawa dan Larasati masing-masing berbicara dalam bahasa ngoko (Moedjanto, 1994: 61). Untuk mengetahui lebih jauh siapa Udawa baca di sini.

Baca juga: Bahasa Jawa Ngoko, Krama, dan Halus dalam pergaulan sehari-hari

Fungsi dari penggunaan bahasa ngoko krama dalam masyarakat Jawa adalah sebagai berikut:

1. Sebagai norma pergaulan masyarakat

Dalam bergaul dengan orang lain dalam hidup bermasyarakat, ia dituntut untuk mengikuti kaidah sosial tertentu. Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh orang itu dalam bergaul dengan sesama warga masyarakat ialah bahasa Jawa yang dipakai.

Seperti halnya terhadap suatu kaidah seseorang yang tidak menaatinya dapat terkena sanksi, demikian juga dalam berbahasa. Kaidah dalam penggunaan bahasa, dalam hal ini penggunaan tataran ngoko krama, atau unggah-ungguhing basa, harus ditaati.

Kalau seseorang berbahasa Jawa dengan orang lain dengan tidak tepat tataran yang digunakan, maka pergaulan dengan orang lain menjadi terganggu, menjadi tidak serasi, menjadi tidak harmonis.

Karena itu dalam pergaulan sehari-hari, bila menggunakan bahasa Jawa, seseorang dituntut oleh masyarakat untuk mengunakan tataran bahasa Jawa secara tepat, sesuai dengan kedudukan seseorang di dalam keluarga, status sosial, tingkat kebangsawanannya, umur, atau prestisnya (Widyasastra Digdaya,1953: 2)

2. Tataran bahasa Jawa dipakai sebagai tata unggah ungguh

Istilah unggah-ungguh berarti yang lebih luas daripada unggah-ungguhing basa. Unggah-ungguh berarti tata sopan santun, sedangkan unggah-unggihing basa berarti tataran ngoko krama, ini berkembang, mungkin karena keinginan bawahan untuk menunjukkan sikap hormatnya terhadap atasan.

Di lain fihak mungkin juga harapan dari atasan untuk memperoleh penghormatan dengan penggunaan bahasa yang halus. Pada umumnya pengharmatan dengan bahasa hanya terbatas dalam kata-kata tertentu. Akan tetapi kemudian makin sering kata harmat dipakai, sehingga frekuensi penggunaan makin tinggi.

Dengan ini maka bahasa Jawa bukan lagi hanya mengenai kata-kata hormat, yang ada dalam setiap bahasa, akan tetapi telah menjadi bahasa tersendiri, yaitu bahasa halus, bahasa penghormatan, bahasa krama (Pigeaud, 1924: 20, 280).

Dengan munculnya unggah-ungguhing bahasa, seseorang dituntut untuk menggunakan tataran bahasa Jawa yang tepat, sebab kalau tidak tepat akan menimbulkan perasaan tidak enak di antara para pemakainya.

Orang-orang desa dan orang-orang yang tidak termasuk dalam kelas priyayi atau terpelajar akan diberi maaf kalau tidak dapat menerapkan aturan ngoko kromo secara tepat.

Sebaliknya tidak dapat dimaafkan kalau mengaku priyayi atau terpelajar tetapi tidak dapat berbahasa Jawa secara layak.

Hal ini akan dicap sebagai tidak sopan, ora ngerti krama, kurang ajar (Astuti Hendrata, 1958: 54). Orang yang diajak bicara dengan bahasa yang tidak semestinya akan merasa tidak dihormati, dan karena itu dapat kehilangan simpati.

Dalam usahanya mengalahkan Jipang, Pemanahan pernah menulis surat tantangan sebagai berikut:

Penget! Layang ingsun Kanjeng Sultan Pajang tumeka marang Arya Penangsang. Liring layang: yen sira nyata wong lanang sarta kendel, payo prang ijen, aja ngawa bala, nyabranga marang sakulon bengawan iki. Sun enteni ing kono.

Dalam tata kebangsawanan Demak, Penangsang lebih tinggi daripada Hadiwijaya, karena ia adalah keturunan langsung dari Sultan Demak sedang Hadiwijaya hanyalah menantu Sultan Demak.

Dilihat dari silsilah, Penangsang lebih tua daripada istri Hadiwijaya, karena ia adalah anak Pangeran Lepen, kakak Trenggana. Sebelum perselisihan antara Penangsang dan Hadiwijaya menjadi pertentangan terbuka, keduanya berbicara dalam bahasa krama (Meinsma, 1941: 56).

Perubahan tata bahasa yang dipakai dalam surat itu merupakan tantangan bagi Penangsang, apalagi bunyi surat itu sendiri itu merupakan tantangan.

Dalam surat itu sebutan penghormatan kakang bahkan tidak ditulis di depan nama Penangsang. Tantangan itu memang dapat saja dalam tataran krama, seperti sebelum permusuhan terbuka akan tetapi akan terasa aneh.

3. Penggunaan bahasa ngoko krama berfungsi sebagai alat untuk menyatakan rasa hormat dan keakraban

Tataran krama dipakai untuk menyatakan hormat kepada orang yang diajak bicara, sedang tataran ngoko dipakai untuk memperlihatkan derajat keakraban di antara mereka yang berbicara.

4. Bahasa Jawa juga berfungsi sebagai pengatur jarak sosial (social distance)

Sebagai suatu dinasti yang baru saja berhasil mengubah status sosial, dinasti Mataram ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan ke juarga sembarangan, melainkan dinasti terpilih, yang mengungguli keluarga-keluarga lain.

Untuk menunjukkan keunggulan (superiority), kejayaan (glory) dan kebesaran (greatness) dinasti Mataram, maka dinasti ini sejak Sultan Agung terutama, perlu menciptakan jarak sosial. Dan alat untuk menciptakan jarak sosial ini adalah antara lain pengembangan tataran bahasa Jawa ngoko-krama.

Dalam kaitannya dengan pengembangan kekuasaan, yang menyangkut juga masalah konsolidasi kedudukan dinasti Mataram perlu memperkuat kedudukan yang baru direbut.

Dari berbagai cara yang dilakukan untuk mengokohkan supremasi kekuasaan di Jawa, pengembangan tataran ngoko-krama memang sengaja dikembangkan, sehingga menjadi rumit, sebagai alat politik, justru karena dinasti Mataram menyadari darinya berasal dari kalangan petani.

Dinasti Mataram mengalami mobilitas dari Waisya ke Kesatria. Untuk menopang kedudukan sosial yang baru, jarak sosial antara dinasti Mataram dengan kelompok sosial lain perlu diciptakan.

Salah satu alat untuk terciptanya jarak sosial itu ialah pengembangan tataran ngoko krama, tataran krama merupakan tataran atas, tataran ngoko merupakan tataran bawah (Moedjanto, 1987).

5. Unggah-ungguhing Basa

Ketika seseorang berbicara selain memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa, juga masih harus memperhatikan Siapa orang yang diajak berbicara. Berbicara kepada orang tua berbeda dengan berbicara pada anak kecil atau yang seumur.

Kata-kata atau bahasa yang ditujukan pada orang lain itulah yang disebut: unggah-ungguhing basa, Unggah-ungguhing basa Jawa pada dasarnya dibagi menjadi tiga: Basa Ngoko, Basa Madya, dan Basa Krama.

Selain yang disebut di atas orang-orang di istana/ kedhaton menggunakan Bahasa Kedhaton atau yang sering disebut Basa Bagongan.

Di bawah ini adalah skema pembagian unggah-ungguhing basa:

  1. Basa Ngoko: Ngoko Lugu, Ngoko Andhap:
  2. Basa Madya: Madya Ngoko, Madya Krama, Madyantara
  3. Basa Krama: Mudha Krama, Kramantara, Wredha Krama, Krama Inggil, Krama Desa. Basa Kedhaton (Bagongan).

Di antara bahasa-bahasa tersebut di atas yang sering digunakan ialah Basa Ngoko, Mudha Krama, dan Krama Inggil.

Meskipun demikian tidak ada salahnya jika kita mengetahui macam-macam basa seperti yang telah disebut di atas, terutama bagi mereka yang ingin mempelajari Bahasa Jawa.

Basa Kasar tidak perlu dijelaskan di sini, hanya saja bentuknya adalah campuran antara Basa Ngoko dengan kata-kata kasar.

Di dalam Babad Tanah Jawa diberitakan bahwa “Senopati lajeng jumeneng nata wonten ing Matawis, nanging mboten karan sultan, tetiyang kathah sami mastani Panembahan Senopati kemawon” (Meinsma, 1941: 96).

Pemberitaan ini memberikan kesan seakan-akan gelar itu kurang tinggi tingkatnya, atau kurang penuhlah kehormatan yang terkandung di dalamnya.

Keterangan yang bernada demikian diberikan juga oleh Winter, yang menulis bahwa Senopati “namung kasebat nama panembahan kemawon, nanging panguwosipun sampun prasasat ratu” (Winter, 1911: 33).

Dari apa yang ditulis di atas, terutama dengan adanya kata kemawon yang berarti hanya, orang berkesimpulan bahwa gelar panembahan bukanlah gelar yang seharusnya dipakai oleh raja, melainkan oleh orang yang derajat atau atau pangkatnya di bawah raja, yang disebut akhir ini gelarnya adalah susuhunan atau Sultan (Moedjanto, 1997: 17).

Pendapat ini bahwa gelar panembahan lebih rendah daripada gelar Susuhunan dan Sultan dikemukakan oleh H.J. De Graaf (1949: 102) dan A.F. Sucipto (1969: 77-95).

Diketahui pula bahwa penggantinya, yaitu Raden Mas Jolang, bergelar Panembahan pula, yaitu Panembahan Krapyak (De Graaf, 1958: 1), bukan hanya pengganti Senopati saja yang bergelar Panembahan, bahkan penganti Panembahan Krapyak yang terkenal dengan sebutannya Sultan Agung, sampai tahun 1962 bergelar Panembahan pula.

Gelar lengkapnya adalah Panembahan Agung Abdul Rakhman (Sucipto, 1969: 88). Di samping itu sebelum tahun 1962 dipakai juga gelar pangeran, baik oleh Senopati, Krapyak, maupun Agung.

Baru untuk pertama kalinya pada tahun 1625 raja Mataram yang ketiga ini bergelar Susuhunan dan baru pada tahun 1641 bergelar Sultan.

Pada awal kerajaan Mataram baru berdiri, gelar panembahan dan Susuhunan dipakai pemuka-pemuka agama atau para wali. Sebenarnya kedua pengertian itu mengandung pengertiannya senada dan mengandung kehormatan atau penghormatan yang sama.

Panembahan berasal dari kata sembah. Jadi panembahan berarti yang disembah atau yang berhak menerima sembah. Sedangkan susuhunan berasal dari kata suhun atau suwun yang berarti ditaruh di atas kepala (Moertono,1968: 34).

Di samping pemuka-pemuka agama, lebih-lebih para wali, memiliki kehormatan dan memperoleh penghormatan yang tinggi, mereka pun mempunyai pengaruh dan memperoleh penghormatan yang tinggi, mereka pun mempunyai pengaruh yang luas dan kekuasaan yang besar.

Mereka merupakan raja-raja di daerahnya, sederajat dengan daerah Mataram asli. Karenanya tidaklah mustahil kalau mereka mempergunakan gelar raja-raja dahulu, misalnya Sunan Giri mempergunakan gelar Prabu Setmata, sedangkan Sunan Bonang bergelar Prabu Hanyakrakusuma (Meinsma, 1941:21). Dalam Babad Tanah Jawi diberitakan bahwa Sunan Giri disebut juga sebagai Raja Pandita.

Dilihat dari keadaan sejaman, dinasti ini tidak berasal dari kelas penguasa. Nenek moyang raja-raja Mataram yaitu Ki Ageng Sela adalah seorang pemuka pedukuhan atau desa Sela.

Ia dikenal sebagai petani yang rajin, terbukti ia bekerja di sawah juga meskipun hari hujan barang yang dianggap sebagai peninggalannya yang berupa cangkul dan caping tersimpan di museum Radya Pustaka Surakarta (Moedjanto, 1997: 19).

Keterangan-keterangan bahwa raja-raja Mataram keturunan petani diberikan juga oleh Trunajaya pada waktu ia dalam suatu pertempuran melawan Mangkurat II di daerah Kediri mengucapkan kata-kata tentang yang antara lain berbunyi: “…Raja Mataram iku dakupamakake tebu: pucuke maneh yen legi, sanajan bongkote ing biyen ya adhem bae, sebab raja trahing wong tetanen : angur macula bae bari angona sapi“.

Gelar “ki” yang dipakai oleh pendahulu-pendahulu Senopati, yaitu Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngenis dan Ki Ageng Pemanahan, dan bukan “raden”, menunjukkan pula bahwa mereka itu berasal dari kalangan rendah.

Tetapi memang benar mereka itu merupakan pemuka-pemuka di daerahnya, terbukti mereka itu menggunakan predikat “ageng” atau “ gedhe” di belakang sebutan “Ki”.

Bahwa Dinasti Mataram adalah dinasti petani dapat pula diketahui dari manipulasi atau koleksi gelar. Kesalahan memakai gelar-gelar itu menunjukkan bahwa dinasti ini kurang mengetahui tradisi kraton.

Ini mendukung bahwa mereka tidak tahu secara persis gelar mana yang sebenarnya harus dipakai, karenanya setiap gelar, yang dianggap sesuai dengan kekuasaan besar yang telah berhasil direbutnya, dipakai tanpa tanpa memperdulikan tepat tidaknya pemakaian gelar itu oleh dan untuk raja.

Semua gelar yang dipakai oleh Senopati dan Jolang ialah Panembahan. Untuk menunjukkan keagungannya, pengganti Jolang menambah gelar itu dengan predikat agung, sehingga menjadi Panembahan Agung.

Barulah pada tahun 1625 ia mulai memakai gelar baru yaitu Susuhunan. Pemakaian itu dilakukan setelah ia berhasil menundukkan daerah Madura dan banyak daerah lainnya. Meskipun hakikatnya gelar Susuhunan dan Panembahan setingkat, tetapi oleh Sultan Agung gelar Susuhunan yang merupakan barang baru baginya dianggap lebih mentereng (Moedjanto, 1997: 20).

Jika pengumpulan gelar itu diteliti, maka diperoleh kesan bahwa gelar Panembahan lebih rendah daripada gelar Susuhunan atau Sultan.

Namun sumber yang sejaman (dari jaman Senopati sampai 1624), tidak ada yang menerangkan adanya pengertian yang demikian itu. Sumber yang ada, mengenai gelar Panembahan, yang tertua adalah Babad Tanah Jawi sudah ada sejak zaman Sultan Agung, tetapi versinya yang sampai kepada kita berasal dari masa Kartasura (16811743) (Sartono, 1968: 25).

Kutipannya yang menjadi dasar penafsiran tersebut telah diberikan di muka. Memang jaman Kartasura, gelar Panembahan sudah di bawah tingkat gelar Susuhunan dan Sultan, dan dipakai oleh pejabat atau bangsawan tinggi yang cukup tua yang mendapat penghormatan khusus dari raja.

Tetapi apakah pada masa Senopati sampai Agung, setidak-tidaknya sampai tahun 1624, pengertian yang demikian itu sudah ada? Artinya, pada mana itu gelar Panembahan bukanlah gelar yang lebih rendah tingkatannya dibandingkan dengan kedua gelar lainnya.

Justru karena ketiga raja Mataram yang pertama itu menilai gelar Panembahan sebagai gelar yang bertingkat tinggi, maka gelar itu dipakai, baru sesudah tahun 1624 tiada raja yang tiada bergelar Susuhunan atau Sultan.

Kalau ada itu hanyalah Raja yang sudah mengundurkan diri, misalnya Paku Buwana II pada hari-hari terakhir dari masa hidupnya, dengan mengambil nama Ki Ageng Matawis (Balai Pustaka, 1937: 32). Lagi pula dalam pengertian yang lebih rendah daripada gelar Susuhunan dan Sultan, belumlah pantas ketiga raja Mataram yang pertama itu menggunakan gelar Panembahan, karena usianya yang masih muda. Dinasti Mataram adalah dinasti orang kebanyakan.

Maka pemakaian gelar merupakan hal yang sangat penting, karena dalam masyarakat Jawa, pemakaian gelar mempunyai efek sosial yang kuat. Martabat seseorang bisa naik karena gelar (De Graaf, 1948: 78).

Karena itu pemakaian gelar pastilah dimanfaatkan dan disesuaikan dengan kondisi politik serta perkembangan pengertian gelar itu di dalam masyarakat. Di samping itu manipulasi gelar merupakan hal yang dapat memperkuat kedudukan dinasti.

Ini berarti peamakaian gelar-gelar berarti pembangunan kekuasaan. Perlu diketahui bahwa Sultan Agung kecuali bergelar Pangeran, Panembahan, Susuhunan dan Sultan juga memakai gelar Prabu Pandita, gelar raja dan ulama sekaligus, seperti Sunan Giri yang disebut juga Raja Pandita.

Di samping kurangnya gelar pengertian akan gelar-gelar di atas merupakan petunjuk bahwa dinasti Mataram adalah dinasti petani, ada kesalahan lain yang dilakukan oleh dinasti itu dalam menggunakan gelar kebangsawanan.

Kesalahan itu nampak dalam hal pemakaian gelar baru: Raden Mas. Gelar ini dipakai bangsawan tingkat tinggi, yaitu keturunan raja sampai dengan canggah (keturunan ke-4), wareng (keturunan ke-5) dan seterusnya memakai gelar raden. Jadi mereka yang memakai gelar raden adalah bangsawan rendah.

Menurut Moedjanto (1994), sebelum Mataram, gelar raden mas tidak ada. Untuk bangsawan tinggi dipakai “raden” saja, misalnya Raden Wijaya, Raden Kalagemet, Raden Patah dan Raden Trenggana.

Begitu juga dalam Mahabarata dan Ramayana, putra-putra raja hanya bergelar raden, misalnya Raden Werkudara, Raden Arjuna, Raden Rama, Raden Lesmana.

Mas sebenarnya adalah sebutan untuk orang kebanyakan yang yang perlu diberikan penghormatan. Dalam sejarah Mataram kombinasi gelar kebangsawanan tingkat tinggi dan sebutan bagi orang kebanyakan menghasilkan gelar kebangsawanan tingkat tinggi.

Sedangkan gelar kebangsawanan tingkat tinggi sebelum Mataram, yaitu raden, turun derajatnya menjadi gelar kebangsawanan tingkat rendah. Namun demikian, kesalahan ini diterima sebagai kenyataan yang hidup dan berlaku di dalam masyarakat Jawa.

Adapun yang menjadi tujuan penggunaan gelar-gelar tadi ialah untuk memperkokoh kedudukan dinasti Mataram sebagai kelas penguasa di samping itu untuk memperkokoh kedudukan politik dinasti Mataram juga menempuh cara lain, yaitu dengan menyusun silsilah buatan mulai dari Adam, dalam silsilah yang termuat dalam Babad Tanah Jawi, dapat diketahui kalau Senopati adalah keturunan Adam yang ke-52. Diketahui pula dari silsilah itu kalau ia adalah keturunan Prabu Brawijaya, raja Majapahit yang terakhir.

Mengingat gelar mempunyai efek sosial yang dalam, maka penggunaan gelar dimaksudkan untuk merebut pengaruh massa yang semula dipegang atau ada kemungkinan untuk dikuasai oleh pemegang gelar tadi.

Jadi tujuan, penggunaan gelar tadi adalah untuk membangun kekuasaan dinasti, yang baru saja direbut atau karena sebenarnya dinasti itu tidak berhak atas kekuasaan itu. Di samping itu gelar raden-mas dan raden dipakai untuk menciptakan distansi sosial (social distance) antar kelas penguasa yang termasuk “trah” Mataram dan kelas rakyat jelata yang “bukan trah” Mataram. Pemisahan “yang trah matram” dan “yang bukan”” penting sekali bagi terjaminnya kekuasaan dinasti.

Berita Terkait

Contoh Purwakanthi Guru Sastra, Pemahaman dan Penggunaan dalam Karya Sastra Jawa
Aja Bahasa Jawa, Apa arti kata ini? Kapan kata ini digunakan?
Agek Bahasa Jawa: Pengertian, Contoh, dan Penggunaan dalam Kehidupan Sehari-Hari
Agama Bahasa Jawa: Memahami Makna dan Filosofi Hidup
Adus Bahasa Jawa: Pengertian, Tingkatan, dan Contoh Ungkapan dalam Kehidupan Sehari-hari
Adu Bahasa Jawa: Serunya Menjelajahi Ragam Dialek dan Tingkatan Bahasa
Adon Bahasa Jawa: Memahami Arti, Filosofi, dan Penggunaan dalam Kehidupan Sehari-hari
Adol Bahasa Jawa: Menggali Potensi Bahasa Daerah sebagai Peluang Bisnis dan Pelestarian Budaya

Berita Terkait

Tuesday, 3 December 2024 - 21:04 WIB

Contoh Purwakanthi Guru Sastra, Pemahaman dan Penggunaan dalam Karya Sastra Jawa

Monday, 2 December 2024 - 19:36 WIB

Aja Bahasa Jawa, Apa arti kata ini? Kapan kata ini digunakan?

Monday, 2 December 2024 - 19:23 WIB

Agek Bahasa Jawa: Pengertian, Contoh, dan Penggunaan dalam Kehidupan Sehari-Hari

Thursday, 28 November 2024 - 20:51 WIB

Agama Bahasa Jawa: Memahami Makna dan Filosofi Hidup

Wednesday, 27 November 2024 - 21:51 WIB

Adu Bahasa Jawa: Serunya Menjelajahi Ragam Dialek dan Tingkatan Bahasa

Berita Terbaru

Bahasa Jawa

Aja Bahasa Jawa, Apa arti kata ini? Kapan kata ini digunakan?

Monday, 2 Dec 2024 - 19:36 WIB

Bahasa Jawa

Agama Bahasa Jawa: Memahami Makna dan Filosofi Hidup

Thursday, 28 Nov 2024 - 20:51 WIB