Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah seorang tokoh yang hidup pada masa keemasan Keraton Surakarta. Beliau adalah pujangga terakhir tanah Jawa yang meninggalkan warisan berharga berupa puluhan serat yang memiliki nilai estetika dan prestasi yang mengagumkan. Ronggowarsito kecil pertama kali menemukan jiwa yang kokoh dan bakat yang besar dibalik kenakalannya di bawah asuhan Kyai Imam Besari di Pondok Gebang Tinatar, Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur.
Kegigihannya dalam bidang sastra, budaya, teologi dan didukung oleh bakatnya, menempatkannya sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta. Raden Ngabehi Ronggowarsito, lahir pada tanggal 14 Maret 1802, dengan nama Bagus Burhan. Ia merupakan anak dari pasangan Surodimejo (Ronggowarsito II) dan Nyai Pajangsworo. Selengkapnya bisa anda baca Perjalanan Mistik Raden Ronggowarsito Sang Pujangga Jawa, sedangkan silsilahnya bisa anda lihat di bawah ini.
Profil Ronggowarsito
Nama asal | ꦫꦢꦺꦤ꧀ꦔꦧꦺꦲꦶꦫꦺꦴꦁꦒꦮꦂꦰꦶꦠ |
Pelafalan | Raden Ngabehi Ronggowarsito |
Nama Kecil | Bagoes Boerhan (Bagus Burhan) |
Lahir | 14 Maret 1802, di Kasunanan Surakarta Hadiningrat |
Meninggal | 24 Desember 1873 (umur 71), di Kasunanan Surakarta Hadiningrat |
Penyebab meninggal | Misterius |
Makam | Palar, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah |
Tempat tinggal | Surakarta |
Pekerjaan | Pujangga |
Tahun aktif | 1845-1873 |
Sejak kecil bakat Ronggowarsito telah dibaca oleh kakeknya. Kemudian kakeknya mengambil inisiatif untuk mengirimnya menjadi santri ke pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo dibawah asuhan Kyai Imam Besari.
Sebagai Putra bangsawan bagus Burhan (Ronggowarsito kecil) mempunyai seorang pengasuh bernama Ki Tanujoyo sebagai guru mistiknya.
Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya ketika masih menjadi menteri Carik di Kadipaten Anom dengan sebutan Mas Ngabehi Sorotoko.
Dalam Serat Jayengbaya tokoh dalam surat ini Ronggowarsito menampilkan seorang tokoh pengangguran bernama Jayengbaya yang konyol dan suka bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan.
Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang di antaranya dalam Serat Wirid Hidayat Jati serta pengamatan sosialnya termuat dalam serat Kalatidha.
Kelebihan beliau di dalam dunia ramalan juga terdapat dalam serat Jaka Lodang, bahkan pada serat Sabda Jati juga terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.
Raden Ngabehi Ronggowarsito pertama mengabdi di Keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar, ini membuatnya menyandang nama Mas panjang Sworo yang tidak lain adalah putra sulung Raden Mas Tumenggung sastronegoro Pujangga kraton Surakarta.
Semasa kecil beliau diasuh oleh Abdi yang amat mengasihinya bernama Ki Tanujoyo. hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ronggowarsito memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil atau wong cilik.
Ki Tanujoyo mempengaruhi kepribadian Ronggowarsito dalam penghargaannya kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan tersebut maka di kemudian hari watak Bagus Burhan berkembang menjadi semakin bijaksana.
Menjelang dewasa Ronggowarsito pergi berguru kepada Kyai Imam Besari di pondok Gebang Tinatar. Tanggung jawab selama berguru itu sepenuhnya diserahkan padaKi Tanujoyo.
Saat pertama kali di Ponogoro, Bagus Burhan mempunyai tabiat buruk yang suka berjudi. Bahkan dalam tempo kurang dari satu tahun bekal yang dibawanya telah habis dan 2 kudanya pun telah dijual.
Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanujoyo sebagai Pamong yang selalu menuruti kehendak Bagus Burhan yang kurang baik itu.
Akhirnya Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan Kyai Imam Besari menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke Moro.
Di sana mereka tinggal di rumah Kasan Ngali saudara sepupu Ki Tanujoyo. Menurut rencana dari Moro mereka akan menuju ke Kediri untuk menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati Cakraningrat.
Namun atas petunjuk Kasan Ngali, mereka berdua tidak perlu ke Kediri melainkan cukup menunggu kehadiran sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja. Hal ini karena sang Adipati akan mampir di Madiun dalam rangka menghadap ke Keraton Surakarta.
Selama menunggu kehadiran Adipati Cakraningrat Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo berjualan klithikan atau berbagai macam barang bekas. Di pasar inilah Bagus Burhan berjumpa dengan Raden Kanjeng Gombak yang tidak lain adalah Putri Adipati Cakraningrat yang kelak akan menjadi istrinya.
Sementara itu Kyai Imam Besari melaporkan peristiwa kepergian Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo dari pesantren Gebang tinatar kepada Ayahanda serta kakeknya di Surakarta. Namun kakeknya memahami perihal itu dan meminta kepada Kyai Imam Besari untuk ikut serta mencarinya.
Selanjutnya Raden Tumenggung Sosronegoro juga memerintahkan Ki Josono dan Ki Kromoliyo untuk serta ikut mencarinya. Akhirnya mereka berhasil menemukan Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo.
Setelah Bagus Burhan dan Ki Tanujoyo ditemukan mereka berdua diajaknya kembali ke pondok Gebang tinatar untuk kembali melanjutkan berguru kepada Kyai Imam Besari.
Kembalinya Bagus Burhan ke pondok tidak membuat kenakalannya mereda. Karena kenakalan tersebut maka Kyai Imam Besari memarahinya yang membuat Bagus Burhan menyesali perbuatan dan sungguh-sungguh atas tindakan yang kurang baik itu.
Dengan kesadaran tersebut lalu Burhan berusaha keras untuk menebus ketinggalannya dan berjanji tidak akan mengulangi serta ia juga berusaha untuk memperhatikan keadaan sekitar yang pada akhirnya justru mendorong untuk mengejar ketinggalan dalam belajar.
Dengan demikian, muncullah kesadaran baru untuk berbuat baik dan luhur sesuai dengan kemampuan.
Sejak saat itulah Bagus Burhan belajar dengan tekun dan cepat sehingga membuat Kyai Imam Besari dan teman-teman Bagus Burhan menjadi heran atas kemajuannya dalam waktu singkat.
Setelah pelajaran yang ia dapati dari Pondok Gebang Tinatar dirasa cukup, lalu Bagus Burhan kembali ke Surakarta untuk di didik oleh kakeknya sendiri.
Pada tanggal 21.mei tahun 1815, setelah Bagus Burhan di khitan lalu diserahkan kepada Gusti Panembahan Bhuminata untuk mempelajari ilmu dibidang jaya kawijayan atau kanuragan.
Jaya kawijayan adalah ilmu kepandaian untuk menolak suatu perbuatan jahat atau membuat diri seseorang memiliki suatu kemampuan yang melebihi orang kebanyakan.
Setelah tamat mempelajari ilmu tersebut kemudian Bagus Burhan dipanggil oleh Sri Paduka Paku Buwono IV dan dianugrahi restu yang terdiri dari tiga tingkatan yaitu
- Restu pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi Pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan dari Kyai Imam Besari yang didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus Burhan memiliki jiwa halus Teguh dan berkemauan keras
- Restu pembentukan jiwa seni oleh kakeknya sendiri dimana kakeknya adalah seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan Raden Tumenggung Sastronagoro juga amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan dasanama jarwa.
- Restu pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan Iman serta ilmu Jaya kawijayan yang diperoleh dari Gusti Pangeran Harya Bhuminata.
Setelah dianugerahkan restu pada tanggal 28 oktober tahun 1818 Bagus Burhan diangkat menjadi pegawai Keraton dengan jabatan Carik Kliwon di Kadipaten Anom dengan gelar Ronggo Pujangga Anom atau lazimnya disebut dengan Ronggo panjang Anom.
Bersamaan dengan diangkatnya beliau Bagus Burhan atau yang dikenal sebagai Mas Ronggo Panjangan Anom juga melaksanakan pernikahan dengan Raden Ajeng Gombak. Pernikahan beliau dilaksanakan di Bhuminata, dimana saat itu Bagus Burhan baru berusia 21 tahun.
Setelah melangsungkan pernikahan, kemudian keduanya berkunjung ke Kediri bersama Ki Tanujoyo. Selang beberapa waktu Bagus Burhan pun hijrah menuju ke Bali yang sebelumnya beliau ke Surabaya untuk berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar wirakanta Diraga Jambi, dan Kyai Ajar Sidolaku di Tabanan, Bali.
Sekembalinya beliau dari berguru Bagus Burhan pun tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai Abdi dalem Keraton dan kembali dianugerahi pangkat manteri carik dengan gelar Mas Ngabehi Sorotoko pada tahun 1822.
Ketika terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 yaitu ketika zaman Sri Paduka Paku Buwono VI beliau kembali diangkat menjadi pegawai Keraton Sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar “Raden Ngabehi Ronggowarsito“.
Seiring berjalannya waktu, sebagai Abdi dalem Kraton tepatnya pada tahun 1845 Raden ngabehi Ronggowarsito diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan menduduki jabatan sebagai Pujangga Kraton Surakarta Hadiningrat.
Kemudian pada tanggal 24 Desember tahun 1873, Raden ngabehi Ronggowarsito wafat. Beliau di makamkan di Palar, Trucuk, Klaten, Jawa Tengah. Kematian beliau yang misterius bisa di baca di artikel Misteri wafatnya Ronggowarsito Pujangga Terakhir Jawa