Dalam kebudayaan Jawa, bahasa memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Setiap kata tak hanya mengandung arti harfiah, tetapi juga membawa nilai-nilai budaya, norma sosial, serta etika dalam penggunaannya.
Salah satu contohnya adalah istilah dalam bahasa Jawa untuk “babi”. Meskipun terlihat sederhana, penggunaan dan pemahaman kata ini bisa mencerminkan bagaimana masyarakat Jawa menjaga kesantunan dalam berbahasa.
Kata Dasar: “Celeng” dan “Bajinguk”
Dalam bahasa Jawa, babi umumnya disebut celeng. Kata ini merujuk pada babi hutan, hewan liar yang sering kali dianggap sebagai simbol ketidakberaturan atau ketidakteraturan dalam konteks alam.
Celeng juga sering diasosiasikan dengan hal-hal yang kasar atau tidak sopan. Dalam beberapa konteks, kata “celeng” dapat digunakan sebagai ungkapan sindiran atau makian, meskipun tentu hal ini tergantung pada bagaimana situasi dan relasi antarpembicara.
Selain “celeng,” dalam bahasa Jawa halus atau kromo, ada juga istilah yang lebih lembut yaitu bajinguk. Istilah ini jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari dan lebih sering ditemukan dalam karya sastra klasik atau komunikasi yang berusaha menjaga kesantunan maksimal.
Meskipun kata ini terdengar lebih lembut, penggunaannya sangat kontekstual dan jarang dipakai oleh masyarakat umum dalam percakapan sehari-hari.
Baca juga: 100 Nama Anak Hewan dalam bahasa Jawa dan Suaranya
Konteks Penggunaan dan Etika Berbahasa
Salah satu ciri khas bahasa Jawa adalah adanya tingkatan dalam berbicara, yang disebut unggah-ungguh atau tata krama berbahasa. Dalam sistem ini, kata-kata dalam bahasa Jawa dibagi ke dalam beberapa tingkatan, mulai dari bahasa ngoko (bahasa kasar), madya (setengah halus), hingga krama (bahasa halus) selengkapnya pelajari di sini.
Maka, penggunaan istilah yang merujuk pada “babi” pun berbeda tergantung pada siapa yang diajak bicara dan dalam konteks apa percakapan itu berlangsung.
Jika dalam bahasa sehari-hari, seseorang bisa saja menggunakan kata celeng dengan teman sebaya, namun saat berbicara dengan orang yang lebih tua atau dalam situasi formal, kata tersebut bisa dianggap tidak pantas.
Dalam kondisi demikian, masyarakat Jawa biasanya akan menggunakan istilah yang lebih sopan atau bahkan menghindari penggunaan kata tersebut secara langsung, sebagai bentuk penghormatan terhadap lawan bicara.
Baca juga: Tabel daftar Bahasa Jawa dan Artinya dalam bahasa Indonesia
Simbolisme dalam Budaya Jawa
Selain sebagai istilah untuk hewan, “babi” atau celeng dalam budaya Jawa sering kali digunakan sebagai simbol dalam berbagai cerita rakyat atau mitologi.
Dalam banyak kisah, babi hutan sering digambarkan sebagai hewan yang cerdik, namun juga licik dan tidak mudah ditaklukkan.
Celeng menjadi simbol kekuatan liar yang tak terkontrol, sehingga dalam beberapa cerita, tokoh protagonis harus menghadapinya sebagai bagian dari uji keberanian dan kebijaksanaan.
Simbolisme ini juga muncul dalam istilah Celengan, yang berarti tempat menabung berbentuk babi (celengan).
Kata ini menyiratkan bahwa seperti babi yang menyimpan kekuatan dan sumber daya, seseorang yang rajin menabung juga akan mengumpulkan kekayaan yang bisa dimanfaatkan di kemudian hari. Makna simbolik ini menambah dimensi lain dalam pemahaman masyarakat Jawa tentang babi.
Baca juga: Apa arane anak babi?
Dalam bahasa Jawa, istilah untuk “babi” memiliki variasi makna yang tidak hanya terbatas pada hewan itu sendiri, tetapi juga merujuk pada nilai budaya, etika, dan simbolisme yang lebih dalam.
Kata celeng sebagai istilah umum, atau bajinguk sebagai versi yang lebih halus, mencerminkan cara masyarakat Jawa menjaga hubungan sosial melalui bahasa.
Di sisi lain, babi juga berperan sebagai simbol dalam berbagai cerita rakyat dan kebudayaan Jawa, menambah kekayaan makna dari kata yang sekilas tampak sederhana ini.
Bahasa Jawa memang selalu menawarkan kekayaan dalam setiap katanya. Melalui penggunaan kata yang tepat, orang Jawa tak hanya menyampaikan maksud, tetapi juga menjaga harmoni dan rasa hormat terhadap sesama.