kawruhbasa.com – Mengenal kosakata dalam bahasa Jawa tidak hanya sebatas memahami terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Lebih dari itu, penting untuk memahami konteks, budaya, dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap kata.
Salah satu kosakata yang menarik untuk dibahas adalah “kathokan”. Dalam bahasa Jawa, arti kathokan adalah bercelana. Namun, penggunaan kata ini memiliki cakupan yang lebih luas, terutama dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa.
Daftar isi artikel
Pengertian Kathokan Secara Umum
Secara linguistik, kathokan berasal dari kata dasar “katho” yang berarti celana. Penambahan akhiran -an menjadikan kata ini sebagai bentuk kata kerja atau menyatakan suatu keadaan.
Maka dari itu, kathokan dapat dimaknai sebagai tindakan atau kondisi seseorang yang mengenakan celana.
Di beberapa wilayah Jawa, kata ini sering digunakan untuk membedakan antara orang yang sudah berpakaian lengkap dengan celana dan orang yang masih mengenakan pakaian rumah atau pakaian dalam.
Kata ini juga kerap digunakan untuk menyampaikan kesan kasual dalam berpakaian, terutama dalam situasi yang tidak formal.
Penggunaan Kathokan dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam praktik sehari-hari, masyarakat Jawa menggunakan istilah kathokan dalam berbagai konteks. Misalnya, saat menegur anak-anak yang belum siap keluar rumah:
“Lho, kok isih ora kathokan? Arep lungo kae lho.”
Artinya: “Lho, kok belum pakai celana? Itu mau pergi, lho.”
Ungkapan seperti itu menandakan pentingnya berpakaian sopan sebelum keluar rumah. Kata kathokan di sini bukan hanya berarti mengenakan celana, tetapi juga menyiratkan kesiapan seseorang untuk tampil di ruang publik dengan pantas.
Makna Sosial dan Budaya Kata Kathokan
Dalam masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi tata krama dan norma berpakaian, mengenakan celana atau kathokan menjadi salah satu bentuk kesopanan.
Kata ini tidak hanya merujuk pada aspek fisik, tetapi juga membawa makna moral. Seorang yang belum kathokan dianggap belum siap berinteraksi secara sosial.
Selain itu, kata ini memiliki nuansa budaya yang menunjukkan tingkatan kesopanan dan kesiapan diri dalam konteks sosial.
Dalam keluarga Jawa, kathokan bisa menjadi simbol dari transisi dari ruang pribadi ke ruang publik. Anak-anak diajarkan sejak dini bahwa mengenakan celana adalah bagian dari menjaga harga diri dan menghormati orang lain.
Kathokan dalam Perspektif Tradisional
Di masa lalu, pakaian tradisional Jawa seperti jarik dan kain sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik oleh pria maupun wanita.
Namun, dalam perkembangan waktu, penggunaan celana atau kathokan mulai menggantikan kain sebagai pakaian harian, terutama di kalangan pria.
Kata kathokan muncul sebagai bentuk adaptasi dari perubahan gaya berpakaian ini. Walaupun celana menjadi umum, istilah kathokan tetap digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara kondisi berpakaian lengkap dan tidak lengkap. Hal ini menjadi bukti bahwa bahasa tetap hidup dan beradaptasi seiring perubahan zaman.
Perbedaan Penggunaan di Berbagai Daerah
Walaupun memiliki arti yang sama, penggunaan kata kathokan bisa sedikit berbeda antar daerah di Jawa. Di beberapa daerah pedesaan, kata ini lebih sering digunakan dalam konteks informal, seperti di lingkungan keluarga atau antar teman.
Sementara itu, di wilayah perkotaan, istilah ini jarang digunakan dalam percakapan formal, dan lebih banyak digantikan oleh istilah berbahasa Indonesia.
Contoh Percakapan Sehari-hari
- “Ngene ki ora sopan, kathokan sik sadurunge metu.” (Ini tidak sopan, pakai celana dulu sebelum keluar.)
- “Wis kathokan durung? Arep diajak neng warung.” (Sudah pakai celana belum? Mau diajak ke warung.)
- “Anake isih turu, durung kathokan, mengko wae dibangunké.” (Anaknya masih tidur, belum pakai celana, nanti saja dibangunkan.)
Nilai Edukatif dari Istilah Kathokan
Melalui penggunaan kata kathokan, terdapat pesan edukatif yang disampaikan dalam kehidupan sehari-hari.
Anak-anak diajarkan untuk memahami pentingnya berpakaian secara sopan, tidak hanya sebagai bentuk kepatuhan, tetapi juga sebagai cerminan karakter dan penghargaan terhadap lingkungan sosial.
Kata ini juga dapat menjadi media pengajaran norma dan tata krama sejak dini. Dalam keluarga Jawa, perintah sederhana seperti “ayo kathokan sik” memiliki peran besar dalam membentuk sikap disiplin dan tanggung jawab pada anak.
Baca juga: Arti Kathok dalam Bahasa Jawa dan Maknanya dalam Budaya Sehari-hari
Arti kathokan dalam bahasa Jawa adalah bercelana. Meski terkesan sederhana, kata ini memiliki makna yang luas dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Jawa.
Tidak hanya menyangkut penampilan fisik, tetapi juga menyiratkan nilai kesopanan, kesiapan sosial, serta penghormatan terhadap norma masyarakat.
Dengan memahami arti dan penggunaan kata ini secara menyeluruh, kita dapat lebih menghargai kekayaan bahasa dan budaya Jawa. Dalam dunia yang terus berubah, menjaga pemahaman terhadap istilah-istilah lokal seperti kathokan adalah bagian dari pelestarian identitas dan warisan budaya yang berharga.