Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa Jawa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai sopan santun dan penghormatan yang tinggi, terutama dalam komunikasi antarmanusia. Salah satu aspek penting yang menarik untuk dibahas adalah kata ganti orang ketiga, terutama “mereka”. Bagaimana orang Jawa menyebut “mereka” dalam bahasa sehari-hari dan dalam berbagai konteks sosial? Mari kita kupas lebih dalam.
Kata Ganti Orang Ketiga dalam Bahasa Jawa
Bahasa Jawa memiliki beberapa tingkatan bahasa yang disebut unggah-ungguh, yaitu cara berbicara yang berbeda-beda tergantung pada siapa kita berbicara. Tiga tingkatan utama dalam bahasa Jawa adalah ngoko, krama madya, dan krama inggil. Setiap tingkatan ini memiliki kata ganti yang berbeda untuk “mereka”.
- Ngoko (Informal) Tingkatan ngoko digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya, orang yang lebih muda, atau dalam situasi yang santai. Untuk kata “mereka”, kata ganti yang digunakan adalah wong-wong kuwi atau cukup wong kuwi. “Wong” berarti orang, dan “kuwi” berarti itu (dalam konteks orang ketiga).Contoh kalimat:
- “Wong-wong kuwi lagi dolan.” (Mereka sedang bermain.)
- “Wong kuwi pinter banget.” (Mereka sangat pintar.)
- Krama Madya (Semi Formal) Krama madya adalah tingkatan bahasa yang lebih sopan daripada ngoko, tetapi tidak seformal krama inggil. Dalam tingkatan ini, kata ganti “mereka” berubah menjadi tiyang-tiyang menika. “Tiyang” berarti orang, dan “menika” adalah kata penunjuk orang ketiga yang lebih sopan.Contoh kalimat:
- “Tiyang-tiyang menika lagi tindak teng pasar.” (Mereka sedang pergi ke pasar.)
- “Tiyang menika kathah ingkang pinter.” (Mereka banyak yang pintar.)
- Krama Inggil (Formal) Pada tingkatan tertinggi, yaitu krama inggil, yang digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua, orang yang dihormati, atau dalam situasi yang sangat formal, kata ganti “mereka” menjadi panjenenganipun tiyang-tiyang menika. Kata ini menunjukkan rasa hormat yang tinggi kepada orang ketiga yang sedang dibicarakan.Contoh kalimat:
- “Panjenenganipun tiyang-tiyang menika sampun rawuh.” (Mereka sudah datang.)
- “Panjenenganipun menika sae sanget.” (Mereka sangat baik.)
Baca juga: Arti “Wirang” dalam Bahasa Jawa: Sebuah Refleksi Budaya dan Moralitas
Konteks Budaya dan Pengaruh
Penggunaan kata ganti orang ketiga dalam bahasa Jawa mencerminkan betapa pentingnya penghormatan dalam budaya Jawa.
Orang Jawa sangat menghargai hierarki sosial dan usia, sehingga pilihan kata, termasuk kata ganti, sangat dipertimbangkan dalam percakapan. Hal ini berbeda dengan bahasa Indonesia yang memiliki kata ganti yang lebih sederhana, seperti “dia” atau “mereka”, tanpa adanya perubahan berdasarkan status sosial.
Dalam budaya Jawa, kemampuan memilih kata yang tepat menunjukkan kecakapan berbahasa dan penghormatan kepada lawan bicara. Bahkan, salah memilih kata ganti bisa dianggap tidak sopan atau kurang ajar, tergantung pada situasinya.
Baca juga: Ucapan Belasungkawa dalam Bahasa Jawa Islam
Bahasa Jawa memiliki keunikan tersendiri dalam penggunaan kata ganti orang ketiga, terutama untuk “mereka”. Kata seperti wong-wong kuwi dalam ngoko, tiyang-tiyang menika dalam krama madya, hingga panjenenganipun tiyang-tiyang menika dalam krama inggil menunjukkan kompleksitas dan kehalusan bahasa Jawa dalam mengekspresikan penghormatan dan tata krama.
Dalam berbahasa Jawa, memahami perbedaan ini sangat penting agar komunikasi tetap berlangsung dengan baik dan sopan, sesuai dengan norma-norma budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa.
Jadi, bagi Anda yang ingin mendalami bahasa Jawa, memahami penggunaan kata ganti ini adalah langkah penting untuk berkomunikasi secara efektif dan menghargai lawan bicara dalam berbagai situasi.